Sunday, January 21, 2024

Keigo Higashino - Keajaiban Toko Kelontong Namiya



Buku Keajaiban Toko Kelontong Namiya merupakan novel karya Keigo Higashino yang tidak aku masukkan dalam list yang ingin kubaca.

Keigo Higashino adalah lelaki asal Jepang yang dikenal sebagai penulis novel detektif. Beberapa novel yang sudah aku baca bertema misteri pembunuhan yang sangat membuat penasaran dan penuh plot twist.

Pertama kali membaca blurb novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya, aku benar-benar tidak tertarik untuk membacanya. Cerita di novel ini memang jauh dari cerita detektif. Seperti tidak Keigo Higashino banget.

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk membaca dan menyelesaikannya sambil menunggu novel Keigo Higashino lain yang sedang aku pesan. Aku membaca dalam bentuk e-book yang dibeli dari Play Books. Seperti semua karyanya, novel ini juga diterbitkan oleh Gramedia.

Awal membaca novel, aku kurang antusias. Tidak terlalu berharap akan semenarik novelnya yang lain. Akan tetapi, lama kelamaan asik juga karena menemukan benang merah dari cerita di setiap bab. Memang ceritanya jauh dari misteri pembunuhan.

Cerita diawali dengan tiga orang pencuri yang bersembunyi di dalam toko tua tak berpenghuni. Tiba-tiba ada surat yang dimasukkan melalui lubang pada pintu gulung toko. Siapa yang menyangka bahwa surat itu dikirimkan dari 32 tahun yang lalu. Dan kisah mereka pun bergulir.

Setting waktu yang maju mundur membuat pembaca harus jeli dalam memahaminya. Apakah ini berada di masa lalu, atau sudah kembali ke saat ini. 

Kalau teman-teman pernah membaca Funiculi Funicula, seperti itulah kira-kira cerita novel ini. Misteri time travel dengan permainan waktu.

Sebagai penulis, tentunya harus jeli dalam menghitung waktu kejadian dalam cerita. Aku selalu salut dengan kemampuan para penulis cerita time travel dalam menceritakan detail berapa tahun ke belakang, bagaimana kaitannya dengan peristiwa di waktu tertentu, dan bagaimana membuat semua cerita memiliki benang merah.

Saat itulah, aku juga menemukan ciri Keigo Higashino dalam novel ini. Sungguh tidak menyangka.

Untuk novel terjemahan, pemilihan kata-katanya mudah dicerna. Meskipun menggunakan kalimat yang baku, tidak ada kesan kaku dan wagu.

Muncul beberapa istilah bahasa Jepang yang dijelaskan menggunakan catatan kaki. Memang ada hal yang menyangkut budaya Jepang yang kadang tidak terbayangkan. Seperti latar tempat. Bagaimana membayangkan kotak kayu tempat susu. Atau bangunan rumah tinggal. Kadang agak mengganggu, tetapi bisa diabaikan.

Novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya memberi lebih pesan moral dibanding karya Keigo yang lain. Bagaimana cara menghadapi tantangan dalam hidup, bagaimana tetap berjuang, dan berusaha menjadi orang yang baik. 

Sekali lagi, membaca novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya memang tidak seperti menikmati karya Keigo Higashino yang lain. Akan tetapi, pada akhirnya aku bisa menikmati ceritanya.


Merah Itu Aku

Yogyakarta, 21 Januari 2024


Continue reading Keigo Higashino - Keajaiban Toko Kelontong Namiya

Tuesday, January 16, 2024

Masjid Thurfah Dekat Rumah

Namanya Masjid Thurfah. Baru diresmikan hari Jumat, tanggal 5 Januari 2024. 



Masjid yang sejak dimulai pembangunnya pada tahun lalu, sudah sering disebut dalam doa agar dilancarkan hingga berdiri.

Masjid yang sudah dirindukan keberadaannya, bahkan jauh sebelum dibangun.

Kami tinggal di Sleman, tetapi jarak rumah ke masjid terdekat, lebih dari 1 km. Ada pula masjid yang lumayan dekat (mungkin jaraknya tidak sampai 1 km), hanya saja, jalan menuju ke sana, melewati antah berantah. Dengan tanjakan yang kurang aman dilewati anak-anak ketika gelap menyapa. Iya, masih ada lokasi semacam itu di dekat tempat tinggal kami.

Beberapa saat sebelum Masjid Thurfah dibangun, ada keinginan untuk pindah dari rumah ini. Aku punya mimpi untuk tinggal di rumah yang dekat dengan masjid. Apalagi, ketiga anakku lelaki. Sebaik-baik lelaki adalah yang salat berjamaan di masjid.

Kami tinggal di Indonesia, dengan mayoritas penduduk muslim, tetapi akses ke masjid butuh effort yang lumayan. Terutama bagi anak-anak seusia anak-anakku. Merasa perjalanan bersepeda terlalu berisiko jika tanpa pengawasan. Namun, jika harus berboncengan naik motor, terlalu penuh. Ah, banyak alasan.

Sering kali merasa iri ketika melihat anak-anak temanku bisa dengan mudah berjalan kaki ke masjid untuk menunaikan salat wajib. Aku pun berharap, anak-anak bisa seperti itu.

Alhamdulillah, kehadiran Masjid Thurfah di dekat rumah merupakan jawaban dari doa-doaku. Bahkan mungkin doa almarhum Bapak yang berharap agar hati cucu-cucunya terikat dengan masjid. Aku jadi kembali berandai-andai. Sudahlah ...

Keinginan untuk pindah rumah pun sudah sirna. Aku makin mantap untuk tinggal di sini. Lingkungan nyaman, lokasi strategis, dan yang pasti, sudah dekat dengan masjid.

Aku jadi teringat obrolan dengan bude sebelah rumah, beberapa tahun yang lalu. Kami berandai-andai, akan ada persawahan dekat rumah kami yang dijadikan masjid. Bahkan kami pernah berseloroh akan membangun masjid di dekat sini jika mampu.

MasyaAllah, salah satu rezeki bagi kami yang tinggal di sini. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Masjid Thurfah hanya berjarak sekitar 150 meter dari rumah. Sangat memungkinkan untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Anak-anak pun semangat untuk salat jamaah di masjid. Begitu pun warga sekitar jadi rajin ke masjid. 

Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Menjelang bulan Ramadan, kami sudah punya masjid dekat rumah. Semoga semakin meningkatkan semangat salat tarawih dan subuh berjamaah di masjid.

Lari 5 km aja kuat, masa jalan 150 meter ke masjid, nggak mampu?


Merah Itu Aku

Yogyakarta, 16 Januari 2024


Continue reading Masjid Thurfah Dekat Rumah

Tuesday, January 9, 2024

Kelar Baca Buku What’s So Wrong About Your Self Healing

Salah satu buku yang aku beli di awal tahun. Buku kedua yang aku baca di tahun ini. Buku non-fiksi tercepat yang aku selesaikan tanpa merasa tertekan. Haha …



Lumayan terkejut bahwa pengalaman pertama membaca buku non-fiksi bisa seseru ini.

Awalnya, aku tertarik dengan buku Adhi Mohamad yang berjudul What’s So Wrong With Your Trauma & Expectation. Dari sampulnya, sudah atraktif banget. Banyak tulisan-tulisan dengan huruf kecil yang bikin penasaran untuk dibaca.

Waktu ke Gramedia Senin lalu, aku tidak menemukan buku yang aku cari. Sepertinya memang termasuk buku baru dan masih dalam masa pre-order.

Aku mengalihkan pilihan pada buku Adhi Mohamad yang lain dengan judul What’s So Wrong With Your Self Healing. Dari sampulnya mirip banget sama buku yang aku cari. 

Tampaknya itu gaya Adhi banget. Buku-buku dia sebelumnya pun setipe. Sampul berwarna dasar hitam dengan banyak tulisan kecil berwarna putih, yang mengelilingi sebuah awan teks dengan warna tertentu. Self healing berwarna kuning, sedangkan Trauma & Expectation berwarna merah. Buku lain, menggunakan awan teks warna berbeda.

Sempat ragu bahwa buku ini cocok buat emak-emak macam aku. 

Sebagai orang tua yang sudah punya anak, pembahasan awal cukup bikin aku bolak balik memosisikan sebagai pembaca anak dan orang tua.

Sebagai anak, aku mengingat-ingat bagaimana pola asuh kedua orang tuaku.

Sebagai orang tua, aku menilai bagaimana pola asuh yang selama ini aku berikan pada anak-anakku.

Memang tidak ada orang tua yang sempurna, pun sebagai anak.

Seperti biasa, aku tidak akan kasih banyak-banyak spoiler apa yang dibahas di buku ini. 


Layout

Aku tertarik banget dengan layout buku ini. Pemilihan huruf pada sampul, sudah cukup membuatku tertarik dan penasaran dengan isi bukunya.

Setiap bab diawali dengan kertas berwarna dasar hitam dengan tulisan judul berwarna putih.

Hal menarik lainnya adalah coretan-coretan dan tulisan dengan font handwriting yang ada di beberapa bagian untuk menunjukkan kata dan kalimat penting.

Pada tiap akhir bab, terdapat resume yang ditulis acak seperti tulisan tangan.



Bahasa

Penggunaan bahasa gaul, tidak serta merta membuat kalimat-kalimat dalam buku ini terasa alay. Justru bisa membuat aku yang biasanya mudah bosan dengan buku non-fiksi, berasa sedang membaca novel. 

Penggunaan bahasa percakapan dalam penyampaian ilmu-ilmu psikologi, menjadikan buku ini mudah dipahami.

Selain itu, Adhi juga cukup interaktif dengan pembaca. Ada beberapa pertanyaan yang disampaikan, dengan memberi tempat untuk menuliskan jawabannya.



Aku sangat menikmati pengalaman membaca buku ini dari awal hingga akhir.

Tidak sabar menunggu datangnya buku Adhi Mohamad yang sudah aku pesan 👐.


Merah Itu Aku

Yogyakarta, 9 Januari 2024


Continue reading Kelar Baca Buku What’s So Wrong About Your Self Healing

Thursday, January 4, 2024

Novel Ika Natassa

Aku baru menyelesaikan bacaan pertama di tahun 2024. Salah satu buku yang aku beli pada tanggal 1 Januari. Novel Ika Natassa, Heartbreak Motel.

Novel ini merupakan karya ketiga dari Ika Natassa yang aku baca. Dua buku lain, aku baca pada akhir tahun lalu.

Yang pertama adalah The Architecture of Love dan membuatku mencari buku lain yang ditulisnya.

Aku tertarik mengambil buku The Architecture of Love dari rak sebuah toko buku, tak lain dan tak bukan, karena info dari lini massa bahwa novel ini akan difilmkan, dengan pemeran utama pria  dimainkan oleh Nicholas Saputra. Wow banget, kan?

Tak peduli siapa pun pemeran wanitanya, Nicholas Saputra sudah cukup menjual. Aku jadi tertarik untuk membaca novelnya. 

Sebenarnya aku agak kurang suka ketika membaca novel, tetapi sudah terkunci dengan sosok tokohnya. Maksudku, imajinasi pembaca mengenai tokoh, akan terdistraksi dengan sosok yang akan memerankan dalam filmnya. Akan tetapi, aku tidak keberatan untuk membayangkan Nicholas Saputra selama membaca novel itu. Hanya saja, kadang ada rasa penasaran dengan imajinasi seperti apa yang akan bermain di kepalaku jika tokoh itu masih berada dalam novel. 

Apakah sosok Hamish Daud yang juga seorang arsitek? Atau ada Ridwan Kamil-Ridwan Kamil-nya? Atau malah justru berbentuk sosok yang hanya ada dalam imajinasiku saja.

Ngomong-ngomong tentang Hamish Daud, ternyata sang penulis berkonsultasi tentang kearsitekan dengan beliau.

Aku langsung jatuh cinta pada cerita Ika Natassa dari novel pertama yang aku baca. Bahasa yang dipakai tidak berlebihan, mudah dimengerti, dan dialognya mengalir. 

Setelah menyelesaikan novel itu, aku langsung mencari bukunya yang lain. Aku pun menemukan Critical Eleven dan langsung membeli melalui toko buku daring. Jika ada yang menjual dalam bentuk e-book, mungkin aku akan memilihnya, biar segera bisa menikmati ceritanya.

Aku baru mengetahui bahwa sebelum The Architecture of Love yang akan tayang, ternyata sudah ada beberapa novel Ika Natassa yang lebih dulu difilmkan. Termasuk Critical Eleven yang aku baca kemudian.

Seperti pada novel yang aku baca sebelumnya, Critical Eleven membuatku terbawa dalam cerita. Ini sedih banget, sih. Cara Ika Natassa membuat penasaran, 'Sebenernya masalahnya apa?' Bikin aku gregetan dan tidak bisa berhenti baca.

Novel ketiga yang aku baca Heartbreak Motel dari Ika Natassa. Sudah ingin aku baca sejak menyelesaikan Critcal Eleven. Galau antara pesan melalui aplikasi belanja daring atau beli langsung ke toko buku. Karena sudah masuk masa permudikan, aku harus bersabar untuk menunggu kembali ke Jogja dan beli langsung.

Cerita awal sudah mengecoh sekali. Aku dah curiga bakalan suram, panuh adegan kekerasan dan tekanan jiwa. Ternyata aku salah. Haha ... Meski memang menurutku bab awal itu merupakan gambaran kondisi ekstrim bagi Ava.


 

Ada beberapa hal yang menarik dari karya-karya Ika Natassa dari tiga novel yang sudah aku baca.

1. Pertemuan pertama antara hero dan heroin yang tidak biasa.

Pertemuan pertama Raia dan River pada Architecture of Love, terjadi secara tidak sengaja di pesta menjelang tahun baru. Raia yang 'melarikan diri' karena tidak suka pesta, bertemu River (yang juga tidak suka pesta) di sebuah kamar.

Pertemuan pertama Anya dan Ale pada Critical Eleven, terjadi di sebuah pesawat. Mereka, secara kebetulan duduk bersebelahan dalam penerbangan ke Sydney. Anya mau nonton konser Coldplay dan Ale cuma transit dalam perjalannya kembali ke rig.

Pertemuan pertama Ava dan Raga pada Heartbreak Motel, terjadi di jalan masuk hotel tempat menginap gara-gara curiga dikuntit. Sebagai aktris terkenal yang sering menjadi mangsa nitizen journalist, Ava sedikit panik ketika menyadari ada orang yang berjalan di belakangnya saat kembali ke hotel di tengah malam.

2. Ada sahabat dekat yang mulutnya nggak ada saringan.

Sahabat yang bikin iri karena bisa sedekat dan setulus itu memberikan pendapat serta nasihat, meski kata-katanya nggak pake saringan. Jujur meski pahit.

Ada Erin, sahabat Raia di Architecture of Love. Selama di New York, Raia tinggal di apartemen Erin.

Ada Agnes dan Tara, sahabat Anya di Critical Eleven.

Ada Lara, sahabat Ava di Heartbreak Motel.

3. Pembatas buku yang unik dan lucu.



Waktu baca Architecture of Love, aku agak takjub dengan ukuran pembatas buku yang 'hanya' seukuran kartu nama. Tapi waktu diliat lagi, ternyata berisi informasi lokasi tempat-tempat keren versi River di novel tersebut.

Aku jadi menambah atensi ke pembatas buku saat akan membaca Critical Eleven. Masih selebar kartu nama lebih dikit dan ternyata berupa boarding pass. Sesuai dengan awal pertemuan mereka di pesawat.

Berbeda dengan dua buku yang aku baca sebelumnya, ukuran pembatas buku pada Heartbreak Motel gede banget. Berupa penanda yang biasa dipasang di gagang pintu hotel untuk memberi informasi bahwa penghuni kamar tersebut, tidak ingin diganggu.


Akhir kata, aku sangat menikmati cerita dari Ika Natassa. Banyak pengetahuan baru yang aku dapet dari ketiga buku yang sudah aku baca. Sanggup bikin ketawa atas jokes-nya, juga (hampir) nangis di bagian yang sedih-sedih. 

Aku masih pengen baca buku-buku dia yang lain. Tapi sementara ini, aku mau selesaikan buku yang udah ada di rumah dulu. 


Merah Itu Aku

Yogyakarta, 4 Januari 2024





Continue reading Novel Ika Natassa

Tuesday, January 2, 2024

2024 - Kamu Mau Ngapain?

Sesiap apa menghadapi tahun 2024?

Mungkin pertanyaan ini terlalu mainstream atau justru tidak penting ditanyakan pada diri sendiri. Karena siap atau tidak siap, tahun 2024 pasti datang.

Biar nggak terlalu mainstream, tulisan ini, aku letakkan di tanggal 2 Januari. Hihi ...

Aku pribadi, sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi 2024 dengan ... tadaaaa ... kembali pada manual bullet journal. Karena tahun lalu, aku berasa kurang produktif tanpa bullet journal. 

Berdasarkan analisa agak ngawur yang dilakukan, dengan journalling, aku lebih bersemangat dan tertib serta teratur. Halah ...

Bullet journaling juga membuatku merasakan bahagia dan kepuasan. Setiap goresan tinta pada kertas, setiap kombinasi warna yang tercipta, menimbulkan rasa nyaman. Aku menyukai segala sensasinya.


Mau curhat sedikit, ygy, tahun lalu merupakan tahun yang cukup berat bagiku. Setengah tahun pertama, aku berusaha untuk menyembuhkan diri dari kekecewaan. Huhu ... ekspektasi yang tidak sejalan dengan realita, ternyata bisa membuatku cukup tertekan hingga menimbulkan efek nyata pada fisik. Tapi, aku nggak akan cerita. Sudah habis diceritakan di tulisan-tulisan sepanjang tahun lalu dalam g-drive yang terkunci. Yah, itu salah satu alasan kenapa hanya satu atau dua tulisan di tahun lalu yang aku publikasikan.

Baiklah, tahun ini, aku mau hidup lebih seimbang lagi. Melakukan apa yang benar-benar ingin aku lakukan. Bukan karena nggak enak sama orang lain, atau pun karena jobdesk dari sebuah titipan manusia. Agak-agak berat nih jurusannya 😂.

Belajar dari tahun lalu, aku ingin menjadi pemimpin bagi diriku sendiri. Tidak membiarkan orang lain mengatur terlalu jauh, hingga membuat tidak bisa berbuat seperti yang aku inginkan. Karena tanggung jawab, kilahku saat itu. Setelah bertahun-tahun berada di posisi yang sulit. 

Mencoba lari, memang sebuah keputusan yang aku rasa paling tepat. Lari dalam arti yang sesungguhnya, juga dalam kiasan.

Merasakan kembali bagaimana nikmatnya membaca, ternyata sanggup menurunkan segala ketegangan.

Entah sudah berapa lama, aku melangkah terlalu jauh. Menjadi seseorang yang bukan aku.

Tahun ini, saatnya benar-benar mencintai diriku sendiri. Melakukan apa pun yang aku suka. 

Cukup sederhana, ya 😁


Merah Itu Aku

Yogyakarta, 2 Januari 2024

Continue reading 2024 - Kamu Mau Ngapain?

Monday, January 1, 2024

Belanja Buku

Awal 2024 ini, aku sudah belanja buku. Sebenarnya sudah pengen main-main sejak akhir tahun lalu, sebelum liburan, karena re-open Gramedia Jogja City Mall.

Setelah tiga setengah bulan tutup (lokasi lama dijadiin KKV), dan pindah sementara ke lantai 2 sebagai Gramedia Expo, akhirnya buka kembali di lantai 1. Tentu saja yang menarik untuk mengunjungi disebabkan oleh godaan diskon. Haha ... Namun, baru hari ini berkesempatan mendatangi Gramedia di lantai 1 Jogja City Mall. 

Kami sekeluarga langsung berpencar mencari buku. Anak-anak ke bagian komik dan buku anak, aku ke bagian novel, sedangkan Mr. Right menuju rak buku self improvment. Keliatan banget, ya, dari pilihan buku-buku kami.

Buku yang aku cari, ternyata belum masuk ke sana. Memang nampaknya buku baru. Sempat ada PO di bulan-bulan akhir tahun 2023, tapi aku kurang pasti infonya. Aku pun memutuskan untuk pesan daring saja di aplikasi berbelanja.

Karena buku yang aku cari tidak ada, aku pilih dua buku. Satu novel dan satu lagi buku self improvement. Beberapa hari yang lalu, aku sempat membaca ulasan singkat mengenai buku Ardhi Mohamad, What's So Wrong About Your Self Healing. Sampulnya cukup menarik buat aku sampai memutuskan untuk memasukkan ke dalam tas belanja. Untuk pilihan novel, aku ambil karena suka dengan gaya penulisan Ika Natassa. Sebelumnya, aku sudah membaca dua buku karyanya (insyaAllah akan aku tulis ulasannya). Alasan lainnya karena aku belum nemu buku Ika Natassa dalam bentuk e-book.

Filosofi Teras pilihan Mr. Right, tapi kayaknya pengen ikutan baca juga.


Ngomong-ngomong tentang e-book, akhir tahun lalu, aku semacam kalap membaca buku elektronik karena lebih murah dan nggak perlu nunggu pesanan datang, pun harus pergi ke toko buku. Namun, kepuasan membaca buku fisik memang tidak tergantikan. Udah gitu, baca e-book cukup melelahkan. Yah, semua memang ada kelebihan dan kekurangan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah swt 🧕.

Oke, siap.

Karena aku baru kembali dari permudikan, malam ini berniat tidur cepat. Hihi ...

Apa resolusi tahun 2024?

Sesiap apa menghadapi 2024?

Pertanyaan yang cukup mainstream, tapi tak apalah. Besok akan aku bahas. Aseeekkk ....


Merah Itu Aku

Yogyakarta, 1 Januari 2024

Continue reading Belanja Buku

Wednesday, March 1, 2023

The Lost Symbol, Dan Brown (Book Review)

Akhirnya, aku bisa menyelesaikan buku bacaan pertama di tahun ini. Buku fiksi, berlatar sejarah, nyerempet-nyerempet agama dan kepercayaan, serta berbau mistis.

Setelah satu dekade membiarkan buku ini tersimpan manis di rak buku, aku berhasil menyelesaikan juga.


The Lost Symbol, Dan Brown





Aku membeli buku ini ketika hamil anak pertama, lebih dari satu dekade yang lalu. Jatuh cinta pada Dan Brown karena The Da Vinci Code, membuatku membeli bukunya yang lain. Cetakan pertama tahun 2010, langsung dikekepin. Saat itu, aku memang mewajibkan diri ini untuk membeli minimal 2 buku setiap bulan.

Dasar lagi hamil, akhirnya buku itu hanya tersimpan dalam rak buku bersama buku-buku lain yang senasib.


Mendadak Terpanggil untuk Membaca The Lost Symbol

Tepat seminggu yang lalu, aku memenuhi janji untuk membelikan komik Dek Lou di Gramedia. Pas banget hari Rabu itu, dia pulang lebih cepat karena para guru ada acara.

Setelah Dek Lou memilih dua komik, aku pun melihat-lihat di bagian novel. Merasa kurang tertarik dengan buku non-fiksi (terbukti dengan lima buku terbaru yang kubeli belum ada satu pun yang selesai dibaca), aku mencoba peruntungan dengan buku fiksi. Pilihanku jatuh pada buku Rindu, Tere Liye dan buku The Immortalists, Chloe Benjamin.

Aku memang penasaran dengan karya Tere Liye, dan ini merupakan buku pertamanya yang kumiliki.

Buku satunya, aku pilih karena penasaran saja. Tidak pernah membaca referensi atau semacamnya.

Seperti menantikan kejutan, akankah aku tertarik menyelesaikannya, atau akan berakhir di rak buku saja.

Ternyata, setelah membaca halaman pertama masing-masing buku, aku merasa kurang tertarik. Aku justru teringat pada buku Dan Brown tebal yang ada di rak buku. Memang, saat di toko buku, aku melihat beberapa karya Dan Brown terpajang di sana.


Buku The Lost Symbol tersimpan di sudut terdalam rak. Halamannya sudah menguning karena dimakan waktu.

Entah ke mana saja aku, kenapa tidak tergerak untuk membaca buku semenarik ini. Bahkan, aku sudah terhipnotis sejak membaca kata pengantar.

Aku langsung memutuskan, harus menyelesaikan buku tersebut.

The Lost Symbol … aku bertekad akan menamatkanmu kali ini!


Tidak Bisa Berhenti

Seperti karya Dan Brown yang lain, The Lost Symbol berlatar sejarah dan mitologi, sarat dengan misteri.

Masih bercerita tentang Robert Langdon, seorang profesor dari Harvard. Kali ini, dia harus menghadapi banyaknya teka teki yang terkubur di Washington DC.

Buku setebal lebih dari 700 halaman ini, menceritakan tentang kejadian yang terjadi dalam satu malam. Dan Brown memang luar biasa.


Aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Hampir 1 minggu. 


Sudah Ada Versi Series-nya

Ternyata -- eh -- ternyata, The Lost Symbol sudah ada versi series yang tayang di Netflix tahun 2021. Akan tetapi, tampaknya hanya sampai season 1. Aku tidak tertarik untuk nonton. Sepertinya memang tidak sesukses novelnya.


Rating Umur

Karena buku ini dicetak lebih dari satu dekade yang lalu, maka belum mencantumkan klasifikasi rating umur pembaca. Akan tetapi, untuk seriesnya diberi rating 13+.

Memang cerita ini berat, seberat bukunya.

Beberapa kali, aku harus membaca ulang agar memahami maksud dari tulisannya. Untuk penjelasan kitab suci yang memang tidak aku ketahui, sengaja tidak terlalu dibaca.


Penutup

Membaca The Lost Symbol membangkitkan kembali hobi membaca novel berat yang sempat meredup. Mungkin memang waktunya yang tepat sehingga aku bisa sangat menikmati kegiatan membaca kali ini.

Mungkin juga karena penulisnya adalah Dan Brown yang memang sudah diakui kehebatannya dalam membawa pembaca untuk masuk ke dalam ceritanya.

Sekali lagi, novel ini merupakan fiksi. Meskipun pada bagian awal buku, terdapat pengungkapan fakta mengenai adanya lokasi, tokoh, beberapa organisasi, ritual, karya seni, dan ilmu pengetahuan yang tertulis di dalam novel memang benar-benar ada di dunia nyata.


Untuk novel terjemahan, kata-kata yang digunakan sangat mudah dipahami dan sesuai dengan PUEBI. Tidak mengherankan karena novel ini diterjemahkan oleh Penerbit Bentang.


Novel apa lagi yang akan aku ulas selanjutnya? Mari kita lihat koleksi dalam rak buku yang belum sempat terbaca.



Merah Itu Aku

Jogja, 1 Maret 2023



Continue reading The Lost Symbol, Dan Brown (Book Review)