Kemaren, aku dapat info dari sepupu, kalau akta kematian Bapak sudah jadi. Sepupuku itu memang yang ngurus beberapa kebutuhan Ibu selama ini. Sepertinya, aku tak akan bisa membalas kebaikan yang sudah dia lakukan.
Kemudian aku sampaikan ke Ibu, dan sewaktu dicek ke email Ibu, ternyata memang sudah dikirim soft file nya. Saat aku buka dan baca, rasanya campur aduk tak karuan. Sediiiihhh banget.
Pagi tadi, sepupuku nganterin hasil print out akta kematian yang dijanjikan kemaren.
"Beneran, ya ...," kataku pelan.
Kadang ada rasa tak percaya kalau semua ini benar-benar terjadi. Rasa ini sungguh entah. Tak bernama.
Aku jadi teringat pembicaraan dengan kakakku, minggu lalu. Tentang air mata yang tak mungkin habis sekaligus untuk menangisi kepergian Bapak.
Mungkin, kami butuh waktu sebulan untuk menangis ketika teringat beliau. Mungkin juga setahun, sepuluh tahun, atau bahkan seumur hidup. Ya ... Tidak ada yang tahu. Namun, aku yakin jika ini akan sulit.
Awal-awal kepergian Bapak, mungkin aku butuh banyak waktu untuk menerima. Tangisan itu kerap kali muncul kala mengingat Bapak. Mungki, setelah beberapa lama, tangis itu tetap akan muncul, dengan nama rindu. Bukankah rindu akan semakin berat ketika semakin lama tidak bertemu? Ah, apapun namanya, rasa itu tetap memilukan.
Obrolan bersama Ibu, sering membuatku berkaca-kaca. Kami berdua sama-sama terluka atas peristiwa yang terjadi. Kami berdua berusaha untuk tegar dan ikhlas. Namun, hati kerap kali berkhianat. Terkadang kami begitu yakin bahwa jalan Bapak memang sudah yang terbaik, namun terkadang, rasa kehilangan begitu menguji keikhlasan kami. Astaghfirullah ... semoga kami benar-benar ikhlas dengan takdir Allah.
Jebakan pengandaian yang menyiksaku dan semakin membuatku semakin terluka. Andai aku tetap berada di sana ketika terakhir pertemuan kami, andai aku berdoa lebih khusu' lagi, andai ... andai ... andai ...
Terjebak dalam perangkap pengandaian.
Berdasarkan penuturan Ibu, Bapak pernah bercerita bahwa manusialah yang menjemput kematian. Ketika ada kecelakaan yang terjadi, kita tidak bisa mengatakan bahwa sendainya dia tidak lewat situ. Seandainya dia lebih berhati-hati ...
Kematian itu sudah dituliskan. Bahkan ketika kita tidak pernah melintasi jalan tersebut, saat harus menjemput kematian di jalan itu, kita akan mendatanginya.
Ya, takdir. Kita harus percaya tanpa ragu.
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim)
Sumber https://rumaysho.com/693-jangan-berkata-seandainya.html
Maksud dari membuka pintu syaithon adalah membuat kita was-was, gelisah, sedih, dan tidak bersyukur.
Semoga Allah memudahkan kami dalam menghadapi rasa kehilangan ini. Kerinduanku terhadap Bapak memang begitu besar. Namun, sesungguhnya, kami yakin bahwa jalan ini memang takdir dan sesuai dengan keinginan Bapak. Insya Allah. Aamiin.
Merah Itu Aku
Cilacap, 4 Maret 2021
No comments:
Post a Comment