Pages

Friday, May 31, 2024

Reviu Buku A Good Girl’s Guide to Murder - Holly Jackson

Beberapa pekan yang lalu, aku menyelesaikan buku A Good Girl’s Guide to Murder atau dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Panduan Membunuh dari Anak Baik-Baik. Buku ini ditulis oleh Holly Jackson.

Aku tertarik membaca buku ini karena membaca tautan yang dikirim Mbak Alfi di Whatsapp Group KLIP. Ada sebuah challenge yang diadakan oleh Gramedia. Aku tidak berminat ikut, tapi kemudian penasaran dengan bukunya. Bagiku, judulnya terlalu panjang. Jika melihat di toko buku saja, rasanya aku tak akan tertarik membacanya.

Saat membeli buku ini secara daring, aku sedang menyelesaikan buku lain. Jadi, aku tidak berharap bukunya segera datang. Eh, ternyata kilat sekali, pagi hari aku pesan, siangnya sudah diantar ke rumah. Khawatir tergoda langsung membaca, aku memutuskan untuk menunda unboxing paket hingga menyelesaikan buku yang sedang aku baca.

Buku yang menurutku, judulnya nggak banget ini, ternyata bikin aku nggak bisa berhenti membaca. Aku sampai menahan diri untuk mencari tahu ataupun membaca ulasan buku ini sebelum selesai membacanya. Tidak rela jika mendapat spoiler. Mengurangi kenikmatan dalam membaca.





A Good Girl’s Guide to Murder (Panduan Membunuh dari Anak Baik-Baik)

Holly Jackson

Gramedia Pustaka Umum

480 hamalan

Rating usia: 17+


Buku ini menceritakan seorang anak SMA bernama Pippa Fitz-Amobi yang sedang mengerjakan proyek sekolah. Dia tertarik pada kejadian pembunuhan yang terjadi di daerah tempat tinggalnya untuk dijadikan bahan proyek tersebut.

Kasus yang terjadi lima tahun yang lalu sudah ditutup. Pembunuh Andie Bell yang tidak pernah ditemukan tubuhnya adalah Sal Singh, kekasihnya.

Sal Singh ditemukan bunuh diri di sebuah hutan dengan surat pengakuan.

Semua orang percaya bahwa Sal Singh adalah pelakunya. Namun, tidak dengan Pip. Dia yakin bahwa pelaku sebenarnya masih berkeliaran.

Banyak plot twist yang disajikan dalam buku ini.

Satu per satu kebenaran terkuak. Bagaimana Pip menghadapi berbagai teror yang datang menghadang? 


Cerita Pip membuatku berpikiran liar tentang kejadian pembunuhan yang sedang viral belakangan ini. 

Bagaimana jika kejadian sebenarnya tidak seperti yang sudah diyakini banyak orang selama delapan tahun ini?

Bagaimana jika pelaku sebenarnya belum tertangkap? Atau malah belum terungkap?

Ada banyak asumsi aneh yang berputar di kepalaku.


Tampaknya kita membutuhkan orang seperti Pip untuk menyelesaikan kasusnya.



Merah Itu Aku

Jogja, 31 Mei 2024


Thursday, May 23, 2024

Reviu Buku Ancika - Pidi Baiq

Jujur saja, aku baca buku ini by ujug-ujug. Nggak ada rencana dan terkesan impulsive

Awalnya, aku liat Instagram Netflix yang baru saja menayangkan Posesif. Film yang dibintangi oleh Putri Marino dan Jefri Nichol. Tanpa pikir panjang, aku nonton ini sampe abis. Karena udah lama nggak marathon nonton, kayaknya kalau berhenti di satu film aja agak kurang, akhirnya aku melanjutkan nonton Ancika, yang merupakan film baru juga yang tayang di Netflix.

Ketika nonton, aku baru tau kalau Ancika merupakan lanjutan dari kisah Dilan.

Sudah bisa dipastikan, abis nonton Ancika, aku jadi tertarik baca bukunya.

Biasanya aku lebih milih baca buku daripada menonton filmnya. Selain karena merusak imajinasi tentang para tokoh, biasanya film yang diadaptasi dari buku, kurang maksimal dalam penceritaan. Yah, film memang terbatas oleh waktu. Dan aku pribadi, merasa kurang puas. Apalagi jika bukunya bagus, tapi filmnya kureng.

Aku punya buku Dilan 1990, Dilan 1991, dan juga Milea. Merasa kecolongan karena baru tau ada buku keempat, Ancika. Aku baca dalam bentuk e-book karena sudah terlalu pengen baca setelah selesai nonton filmnya.

Menurutku, filmnya kurang oke karena beberapa pemain yang ada di film sebelumnya berganti. Seperti pemain Dilan dan Milea.

Kalau yang jadi Dilan agak mirip meski berasa jadi versi lebih dewasa dan berisi. Sedangkan yang jadi Milea, beuh, jauh banget bedanya. Aku nilai beda, ya, bukan membandingkan kecantikan atau kegantengan para tokoh.


Spoiler Alert‼️

Ancika: Dia yang Bersamaku Tahun 1995

Pidi Baiq
Digitalisasi: Rakata
Diterbitkan oleh Pastel Book
PT. Mizan Pustaka
291 halaman

Ancika, seorang siswa SMA yang tinggal di Bandung. Dia berwajah manis dan sedikit tomboi. 

Buku ini menggunakan point of view 1, dengan Ancika sebagai pencerita.

Menggunakan latar tahun 1995, Dilan sudah menjadi mahasiswa di ITB dan tidak lagi menjadi anggota genk motor.

Ancika merupakan kekasih Dilan setelah Milea.

Jika jadi Ancika, aku pasti tidak bisa menghapus bayang Milea selama hidup bersama Dilan. Pasti akan aku ungkit setiap bertengkar dengan Dilan. Bagaimana mungkin Milea diceritakan dalam 3 buku, sedangkan Ancika hanya 1 buku. Aku nggak bisa digituin 😌.

Yah, untungnya, aku bukan Ancika. Dan kisahku tidak ada mirip-miripnya dengan Ancika.

Ada bagian yang mengganjal saat membaca buku ini. Penggambaran waktu yang sangat mengganggu. Bagaimana mungkin, pada tanggal 2 Oktober 1998, mereka membicarakan tentang rencana untuk menikah, tetapi pernikahan terjadi pada pertengahan 1998?

Sumber: Ancika: Dia yang Bersamaku Tahun 1995


Masa, sih, bisa-bisanya begini?


Akhirnya, aku baca ulang kembali. Kemudian aku berasumsi, mungkin pembukaan pada bab menikah itu, hanya menjelaskan tentang awal mula krisis moneter, bukan waktu pernikahan.

Dan berimbas pada pernikahan yang mereka langsungkan di tahun berikutnya.


Sumber: Ancika: Dia yang Bersamaku Tahun 1995



Akan tetapi, ada bagian yang menceritakan bahwa setelah lamaran, Dilan ditangkap bersama beberapa mahasiswa karena dianggap lantang menentang pemerintah pada saat itu. Bukankah itu terjadi pada awal tahun 1998?

Atau mungkin, lamaran terjadi tahun 1997?

Ah, sudahlah.


Seperti tiga serial Dilan sebelumnya, cerita di buku ini membuat aku sedikit bernostalgia dengan masa lalu. Sebagai anak yang beranjak remaja di tahun tersebut, aku bisa membayangkan bagaimana kondisi saat itu. 

Akan tetapi, aku tidak berniat untuk melengkapi 3 buku serial Dilan dengan Ancika. Cukup saja dibaca dalam bentuk e-book.


Jika ditanya, bagusan mana buku dengan filmnya, tentu aku pilih bukunya. Bukan karena filmnya tidak layak tonton, tetapi banyak cerita yang terlewatkan. Seperti yang aku tuliskan di awal bahwa kekurangan film yang diadaptasi dari buku adalah durasi yang terbatas.



Merah Itu Aku,

Jogja, 22 Mei 2024


Friday, May 17, 2024

Reviu Buku Bajak Laut dan Purnama Terakhir - Adhitya Mulya

Setelah membaca Sabar Tanpa Batas, aku seperti digiring (bukan Nidji) untuk mencari karya Adhitya Mulya yang lain. Sebagai penikmat karya-karyanya, cukup terlambat bagiku membaca buku ini. Namun, tampaknya memang tidak terlalu dipromosikan secara besar-besaran. Atau karena aku yang kurang update, entahlah. Yang jelas, aku segera membeli seri bajak laut ini, yang berjumlah 2 buku. Seri keduanya, berjudul Bajak Laut dan Mahapatih (belum aku baca).

Aku agak curiga kalau belum banyak orang yang mengetahui keberadaan buku ini. Diterbitkan pada tahun 2016, dan buku yang aku beli merupakan cetakan pertama.




Bajak Laut dan Purnama Terakhir

Adhitya Mulya

GagasMedia

Cetakan pertama, 2016

viii + 332 halaman


Jaka Kelana, seorang bajak laut amatir (karena terlalu sopan) dan tidak tahu diri (karena merasa merupakan titisan Dewa Ganteng). Ketidaktahuan dirinya menyebabkan dia tidak pernah berhasil dalam hubungan dengan lawan jenis.

Adhitya Mulya sukses dalam memberikan adegan konyol pada diri Jaka Kelana, baik dalam tutur kata maupun tingkah laku. Hal konyol dan tidak berguna, juga menempel kuat pada kru bajak laut.

Dialog-dialognya konyol (dan ngeselin) abis. Ingin rasanya masukin si Jaka ke karung dan buang ke laut.


Jaka Kelana merupakan pemimpin bajak laut Kerapu Merah. Apa pula lah pemilihan nama bajak laut macam rumah makan Padang 😭.

Ada empat kru, yang sama tidak beresnya dengan Jaka, yaitu: Aceng, Suhendro, Abbas, dan Lintong. Mereka berempat bagai pelengkap penderita bagi kehidupan Jaka Kelana.


Karakter tokoh-tokoh ngeselin tersebut tertolong dengan hadirnya para pendekar: Rusa Arang, Bara Angkasa, dan Puspa Galuh.


Para pendekar harus menuntaskan misi yang terpaksanya harus melibatkan Jaka Kelana dan kru bajak laut Kerapu Merah. Kalau dilihat dari kemampuan bertempur, para bajak laut tidak ada apa-apanya dibanding tiga pendekar.


Berlatar belakang zaman VOC, cerita ini kental dengan sejarah. Sebuah novel komedi sejarah, sesuai dengan kalimat yang tertulis pada sampul buku.


Aku yang kurang jago sejarah, tidak terlalu terganggu dengan sejarah baru yang menjadi cerita di buku ini. Adhitya, dengan baik hatinya, menuliskan lembar khusus untuk membandingkan fakta dan fiksi. Supaya para pembaca tidak terjebak dalam sejarah yang salah.

Padahal, kalau dibelokkan pun, aku tak akan curiga. Haha …


Alur cerita tidak bertele-tele dan tidak ada adegan menegangkan. Yah, namanya juga komedi, kan 😁

Pada buku, tidak dicantumkan rating pembaca. Namun, ada adegan yang lumayan tidak layak dibaca oleh anak di bawah umur. Mungkin 13+ masih aman.

Ada plot twist yang sesungguhnya sudah bisa ditebak di tengah-tengah cerita. Duh, aku tergoda untuk kasih spoiler 👻.


Selama membaca buku ini, aku membayangkan sandiwara radio Saur Sepuh. Ampuuun … ini beneran udah sepuh, sih 😂

Adegan berkelahinya terasa sekali. Aku bukan penggemar drama kolosal, tapi buku ini sanggup membuatku terhibur.


Aku membutuhkan cukup banyak waktu untuk menyelesaikan buku ini. Ternyata, latar sejarah masih terasa berat untuk aku hadapi. Apalagi membaca nama-nama pejabat VOC dan dialog yang menggunakan 'Ijk' dan 'Jij'.

Kalau bagian ini, aku jadi kebayang Lenong Rumpi 😅.


Setelah menyelasaikan buku ini, aku belum tergerak untuk membaca Bajak Laut dan Mahapatih. Ada beberapa buku yang memanggil untuk dibaca duluan. Hallah 😅



Merah Itu Aku

Jogja, 17 Mei 2024




Friday, May 3, 2024

Reviu Buku Namaku Alam - Leila S. Chudori

Tampaknya, aku mulai begitu ngefans dengan buku-buku karya Leila S. Chudori. Setelah Laut Bercerita dan Pulang, aku langsung menyelesaikan Namaku Alam.

Namaku Alam merupakan buku kedua dari trilogi kisah 1965 yang ditulis Leila S. Chudori. Spin off dari Pulang (trilogi pertamanya).

Aku tidak tahu, akan ada berapa jilid Namaku Alam ini. Buku yang aku baca merupakan jilid 1. Menurut informasi di Instagram penulisnya, jilid ke-2 sedang dalam proses.

Namun, tenang saja. Akhir ceritanya tidak menggantung, meski aku tetap menunggu buku selanjutnya, untuk mengetahui kisah Alam.






Namaku Alam 1

Leila S. Chudori

KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Cetakan pertama, September 2023

Cetakan ketujuh, April 2024

Rating usia 17+


Sesuai dengan judulnya, buku ini menceritakan tentang Segara Alam (yang memiliki bab khusus di buku Pulang).

Alam merupakan anak dari Hananto (anggota kelompok kiri yang dihukum mati) dan Surti Anandari.


Alam digambarkan sebagai lelaki ganteng dengan tubuh tinggi menjulang, pemegang sabuk hitam karate Dan 1. Tidak hanya itu yang membuat tokoh Alam ini mudah dicintai (eciee …), dia juga terobsesi dengan kerapian. Digambarkan bagaimana dia menyusun semua buku-bukunya dalam rak. 


Alam memiliki kemampuan photographic memory, yang dirinya selalu menganggap sebagai kutukan karena membuatnya teringat detail kejadian kelam ketika berusia tiga tahun.

Bagi teman-teman sekolahnya, kemampuan itu merupakan berkah karena menjadikan Alam sebagai wakil sekolah dalam lomba Cerdas Tangkas.


Sebagai anak tapol yang kemudian dihukum mati, kehidupan Alam tidak pernah tenang. Sebutan ‘anak pengkhianat negara’ menjadi beban yang selalu mengikuti Alam. 

‘Dosa’ ayahnya yang sudah dihukum mati pun tetap membuat Alam dan keluarganya menemui banyak kesulitan.


Pada buku Namaku Alam 1, Alam yang sudah berusia 33 tahun, menceritakan kehidupan masa lalunya hingga usia SMA.

Aku menerka-nerka, jilid kedua akan berkisah tentang Alam hingga bertemu Lintang Utara.

Terkaan yang mengandung harapan pembaca 😅.


Siapakah Lintang Utara? Silakan baca novel Pulang 😁


Seperti buku-buku Leila S. Chudori yang lain, Namaku Alam juga berhasil membuatku sulit move on dari ceritanya. Ada sekelumit sejarah yang tidak pernah diceritakan. Nasib keluarga eks tapol yang sebagian besar tidak terlibat dalam perpolitikan, harus ikut menanggung segala akibatnya.


Aku benar-benar menantikan buku selanjutnya. Semoga semuanya lancar, sampai buku itu tiba di pelukanku.


Merah Itu Aku

Jogja, 3 Mei 2024