Fitrah seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan bersikap sesuai fitrahnya, sebagai laki-laki sejati atau perempuan sejati (Harry Santosa).
Menurut Elly Risman Musa, ada beberapa tahap proses pendidikan berbasis fitrah:
1. Fitrah seksualitas anak 0 - 2 tahun (Tahap awal penguatan konsepsi fitrah pada anak)
Anak laki-laki dan anak perempuan didekatkan pada ibunya karena ada fase menyusui. Menyusui adalah tahap awal penguatan semua konsepsi fitrah. Pada usia ini, anak masih dalam fase pengenalan konsep kepemilikan dan tubuhnya itu terpisah dari ibunya.
2. Fitrah seksualitas anak usia 3 - 6 tahun (Tahap penguatan konsepsi gender anak)
Anak harus dekat dengan ayah-bundanya secara seimbang, agar dia memiliki keseimbangan emosiaonal dan rasional. Indikator tumbuhnya fitrah seksualitas di usia ini adalah anak sudah bisa dengan jelas menyebutkan identitas seksualitasnya laki-laki atau perempuan.
3. Fitrah seksual anak usia 7 - 10 tahun (Tahap
Penyadaran potensi gender anak)
Anak lelaki didekatkan kepada ayah karena keegosentrisan mulai bergeser menjadi sosiosentrik.
Dia sudah punya tanggung jawab moral dan spiritual.
Anak perempuan didekatkan kepada ibunya supaya peran keperempuanan dan keibuannya bangkit.
4. Fitrah seksualitas anak usia 11 - 14 tahun (Tahap pengujian eksistensi)
Inilah puncak fitrah seksualitas. Pada rentang usia ini, secara biologis, dorongan reproduksi mulai muncul. Anak laki-laki mulai mimpi basah dan anak perempuan mulai menstruasi.
Pada masa terberat ini, anak laki-laki didekatkan pada ibunya, dan anak perempuan didekatkan pada ayahnya.
Anak lelaki didekatkan ke ibu agar dia dapat belajar dari sosok ibu tentang bagaimana lawan jenis seharusnya diperhatikan, dipahami, dan diperlakukan. Sang bunda harus menjadi sosok perempuan ideal pertama baginya. Bila perlu, juga menjadi konsultan sekaligus tempat curhat.
Anak lelaki yang tidak akrab dengan ibunya di tahap ini akan kesulitan untuk memahami perasaan dan pikiran perempuan, termasuk juga istrinya kelak. Dia berpeluang menjadi suami yang tidak dewasa, kasar, dan egois.
Sementara itu, anak perempuan justru harus didekatkan kepada ayahnya. Tujuannya sama, supaya dia dapat belajar berempati langsung dari lawan jenis terdekatnya, yaitu sang ayah. Maka bagi anak gadis, ayahnya harus menjadi sosok lelaki ideal pertama baginya. Kalau perlu, juga menjadi konsultan dan tempat curhat.
Anak perempuan yang tidak dekat ayahnya di tahap ini, kelak berpeluang besar menyerahkan tubuh dan kehormatannya kepada lelaki yang dianggap bisa menggantikan sosok ayahnya yang “hilang” selama ini.
(Resume presentasi kelompok 4 kelas Bunsay Joglo)
Merah Itu Aku
Jogja, 24 Februari 2020
No comments:
Post a Comment