Rasa yang paling menyiksa dan menyesakkan adalah rasa rindu kepada orang yang sudah tidak bisa kita temui lagi.
Dulu, Bapak pernah berkata, "Pandemi ini memisahkan Eyang dari cucunya."
Kalimat itu, beliau ucapkan setelah new normal diberlakukan. Hampir setahun yang lalu.
Saat pertama kalinya, Bapak dan Ibu kembali mengunjungi kami di Jogja, setelah Covid 19 datang menghantam Indonesia. Kondisi yang membuat semua orang harus melakukan isolasi mandiri, tidak keluar sama sekali, kecuali ada kebutuhan yang amat sangat begitu mendesak sekali.
Aku ingat, bahkan karena harus berada di rumah selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, Mr. Right sampai rela belanja bulanan, dengan berbekal list dariku. Sungguh, saat itu adalah masa-masa di mana kami tidak keluar rumah, bahkan untuk sekadar menyapa tetangga.
Namun, hanya tidak bertemu selama berbulan-bulan lamanya dengan Bapak dan Ibu, kami masih dapat saling berjumpa lewat video call. Meskipun tidak dapat saling menyentuh, kami dapat saling bertatapan dan berbicara.
Siapa yang menyangka bahwa kondisi itu tidak hanya memisahkan Eyang dengan cucunya, anak dengan ayahnya, istri dengan suaminya, adek dengan kakaknya, untuk selama-lamanya. Bagaimana mungkin aku pernah menyangka bahwa aku akan merasakan kehilangan yang begitu menyesakkan secepat ini.
Sudah dua bulan lebih, dan aku belum juga beranjak dari kubangan kesedihan.
Kadang, aku masih merasa dipermainkan oleh takdir.
Kadang, hati ini masih ingin menyangkal.
Apakah benar, Bapak sudah pergi untuk selamanya?
Apakah benar, aku sudah tidak dapat berbicara lagi dengannya di dunia ini?
Air mata ini masih saja tidak bisa dicegah untuk mengalir turun ketika mengingatnya.
Potongan-potongan perjumpaan singkat kami,
Kalimat-kalimat singkat yang Bapak sampaikan,
Gerak gerik Bapak yang efisien,
Sungguh, sangat membuatku rindu.
Aku masih saja membohongi perasaan dengan, ah, biasanya juga enggak ketemu enggak apa-apa.
Ya, karena kami akan bisa bertemu suatu saat nanti.
Namun, kini, aku sudah tidak dapat bertemu lagi dengannya. Selamanya.
Pada suatu sore, ketika aku sedang menyiapkan makanan untuk buka puasa, Kakak Zidan datang menghampiriku. Dia melihatku kesulitan memotong daging ayam. Kemudian dia berkata, "Bunda harus ngasah pisau sendiri. Udah nggak bisa bergantung sama Eyang Kakung lagi."
Demi apalah kata-kata itu langsung membuatku tersentak.
Ya, tanpa aku sadari, aku sudah terlalu bergantung pada Bapak. Beliau begitu memanjakanku dengan tindakan-tindakan ringan, yang tidak aku sadari, ternyata sangat memudahkanku dalam melakukan banyak hal.
Contoh sederhana adalah masalah pisau. Aku sangat jarang mengasah pisau sendiri karena Bapak-lah yang selalu melakukannya ketika ke Jogja.
Aku sangat jarang memangkas batang-batang tanaman di depan rumah. Semua akan rapi ketika Bapak datang.
Bapak selalu menyelamatkanku dari segala kekacauan.
Bapak selalu datang ketika aku butuhkan, tanpa aku minta.
Aku rindu Bapak. Bukan untuk meminta beliau melakukan apa yang sudah beliau lakukan. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih.
Terima kasih atas segala hal yang sudah Bapak lakukan kepadaku. Terima kasih banyak, Bapak.
Aku selalu sayang Bapak.
Bapak, aku rindu.
Merah Itu Aku
Jogja, 21 April 2021
9 Ramadhan 1442 H