Namanya keinginan, bukan permintaan karena memang Bapak bukan orang yang suka meminta. Setelah Bapak meninggal, kami menyadari bahwa banyak hal yang menjadi keinginan Bapak, pada akhirnya terlaksana.
Hari ini, tiga pekan yang lalu, aku bertemu Bapak untuk terakhir kalinya. Hari ini juga, beberapa jam setelah pertemuan terakhir kami, Bapak menghembuskan napas yang terakhir. Nyeri mengingatnya.
Setelah lebih dari sebulan berada di Cilacap, sore tadi, kami kembali ke Jogja. Rencana awal, anak-anak akan menjalani PTS (Penilaian Tengah Semester) dari Cilacap saja. Nyatanya, pengambilan soal Kakak Zidan, baru bisa dilakukan Senin besok. Dengan menata hati, aku pun menyampaikan kabar ke Ibu.
Tanpa air mata, aku berpamitan. Tidak ingin membuat Ibu bertambah sedih. Justru Ibu yang menenangkanku dengan berkata bahwa beliau akan baik-baik saja tanpa kami di sana.
Tanpa aku sadari, aku sudah menahan perasaan selama tiga pekan. Begitu sampai rumah, aku benar-benar tak tahan lagi untuk mengeluarkan semuanya. Ah, belum semuanya. Pasti akan ada air mata lagi saat aku mengenangnya.
Perjalanan menuju Jogja, benar-benar penuh kenangan akan Bapak. Jalanan yang kian mulus, sudah tak mungkin lagi Bapak lewati. Aku sudah tak bisa lagi berbagi cerita tentang jalanan baru yang memudahkan Bapak berkendara. Aku rindu ...
Sudah tidak ada lagi Bapak yang berkata, "Kalo Ayah ga bisa jemput, nanti Eyang Kakung yang anter."
Atau, "Kalo ada yang ketinggalan, besok-besok Eyang Kakung bawain pas ke Jogja."
Ah, Eyang Kakung selalu membuat kami semua tenang.
Ketika sedih melanda, aku mengingat banyak hal tentang keinginan-keinginan Bapak yang sudah terwujud. Insya Allah, Bapak sudah tenang ...
1. "Bapak mau disolatin di ruang tamu."
Belasan tahun yang lalu, Bapak merenovasi rumah. Ruang tamu yang awalnya seuprit, Bapak pindah lokasinya dan dibuat sangat luas. Saat obrolan singkat yang kami lakukan, Bapak pernah berkata, "Bapak bikin ruang tamu segede ini, biar kalo meninggal, disolatin di situ. Lantainya juga lebih tinggi dari ruangan yang lain."
Saat mendengar itu, aku cuma iya-iya aja. Bapak memang selalu membicarakan kematian dengan ringan.
Ketika tiga minggu yang lalu, orang-orang menanyakan tempat Bapak pulang ke rumah untuk terakhir kalinya, maka tanpa ragu, aku mengatakan, "Di ruang tamu."
Tak menyangka akan secepat itu kami berpisah untuk selama-lamanya.
2. "Bapak ga mau hidup sampe tua banget. Sampe susah ngapa-ngapain dan harus bergantung sama orang lain."
Bapak tidak bisa dibilang muda. Beliau meninggal di usia 67 tahun 1 bulan 20 hari. Namun, pada usianya yang senja, beliau masih sanggup nyetir Cilacap - Jogja - Semarang sendirian.
Aku masih ingat ketika beberapa bulan lalu mengantarkan Bapak ke rumah sakit. Saat beliau melihat ada orang tua yang berjalan pelan-pelan dengan kruk, Bapak bergumam, "Bapak ga mau kayak gitu. Kasian banget liatnya."
Ah, Bapak, sebegitu tidak inginnya dibantu dan dipandang kasihan oleh orang lain.
3. "Bapak ga mau minum obat seumur hidup."
Beberapa bulan lalu, Bapak terdiagnosa memiliki kadar gula yang cukup tinggi. Untuk orang yang rajin memeriksakan diri, kabar ini cukup mencengangkan. Tidak hanya untuk Bapak sendiri, tetapi juga bagi kami, keluarganya.
Bapak cukup sadar, bahwa penderita diabetes kronis, harus meminum obat secara teratur untuk menormalkan kadar gula dalam darahnya. Setelah mengetahui potensi kadar gula darah tinggi, Bapak langsung diet rendah gula. Beliau tidak mau bergantung pada obat seumur hidupnya.
Ironisnya, kadar gula dalam darah Bapak merupakan faktor yang memperparah kondisi beliau di saat terakhir. Namun, itu sesuai dengan salah satu keinginan Bapak yang tak mau bergantung pada obat seumur hidupnya.
4. Bapak nggak mau nyusahin orang lain.
Hingga meninggal, Bapak tidak memperbolehkan anak-anaknya pulang. Beliau hanya minta didoakan untuk kesembuhannya saja.
Tapi aku tetap pulang dan meyakinkan Bapak kalo aku bisa mengurus diri serta anak-anak. Aku juga meyakinkan Bapak bahwa aku yang butuh untuk ada di dekatnya agar aku tenang. Bapak tak pernah memintaku pulang. Bahkan ketika terakhir kali bertemu, itu karena Ibu yang menawarkan pada Bapak.
Bapak tak pernah meminta apa-apa kepada anak-anaknya. Bahkan ketika memendam rindu, beliau akan dengan suka rela mengunjungi kami, alih-alih meminta kami datang.
Bapak sudah memilih jalannya untuk pulang.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.
Merah Itu Aku
Jogja, 6 Maret 2021
0 comments:
Post a Comment