Friday, May 17, 2024

Reviu Buku Bajak Laut dan Purnama Terakhir - Adhitya Mulya

Setelah membaca Sabar Tanpa Batas, aku seperti digiring (bukan Nidji) untuk mencari karya Adhitya Mulya yang lain. Sebagai penikmat karya-karyanya, cukup terlambat bagiku membaca buku ini. Namun, tampaknya memang tidak terlalu dipromosikan secara besar-besaran. Atau karena aku yang kurang update, entahlah. Yang jelas, aku segera membeli seri bajak laut ini, yang berjumlah 2 buku. Seri keduanya, berjudul Bajak Laut dan Mahapatih (belum aku baca).

Aku agak curiga kalau belum banyak orang yang mengetahui keberadaan buku ini. Diterbitkan pada tahun 2016, dan buku yang aku beli merupakan cetakan pertama.




Bajak Laut dan Purnama Terakhir

Adhitya Mulya

GagasMedia

Cetakan pertama, 2016

viii + 332 halaman


Jaka Kelana, seorang bajak laut amatir (karena terlalu sopan) dan tidak tahu diri (karena merasa merupakan titisan Dewa Ganteng). Ketidaktahuan dirinya menyebabkan dia tidak pernah berhasil dalam hubungan dengan lawan jenis.

Adhitya Mulya sukses dalam memberikan adegan konyol pada diri Jaka Kelana, baik dalam tutur kata maupun tingkah laku. Hal konyol dan tidak berguna, juga menempel kuat pada kru bajak laut.

Dialog-dialognya konyol (dan ngeselin) abis. Ingin rasanya masukin si Jaka ke karung dan buang ke laut.


Jaka Kelana merupakan pemimpin bajak laut Kerapu Merah. Apa pula lah pemilihan nama bajak laut macam rumah makan Padang 😭.

Ada empat kru, yang sama tidak beresnya dengan Jaka, yaitu: Aceng, Suhendro, Abbas, dan Lintong. Mereka berempat bagai pelengkap penderita bagi kehidupan Jaka Kelana.


Karakter tokoh-tokoh ngeselin tersebut tertolong dengan hadirnya para pendekar: Rusa Arang, Bara Angkasa, dan Puspa Galuh.


Para pendekar harus menuntaskan misi yang terpaksanya harus melibatkan Jaka Kelana dan kru bajak laut Kerapu Merah. Kalau dilihat dari kemampuan bertempur, para bajak laut tidak ada apa-apanya dibanding tiga pendekar.


Berlatar belakang zaman VOC, cerita ini kental dengan sejarah. Sebuah novel komedi sejarah, sesuai dengan kalimat yang tertulis pada sampul buku.


Aku yang kurang jago sejarah, tidak terlalu terganggu dengan sejarah baru yang menjadi cerita di buku ini. Adhitya, dengan baik hatinya, menuliskan lembar khusus untuk membandingkan fakta dan fiksi. Supaya para pembaca tidak terjebak dalam sejarah yang salah.

Padahal, kalau dibelokkan pun, aku tak akan curiga. Haha …


Alur cerita tidak bertele-tele dan tidak ada adegan menegangkan. Yah, namanya juga komedi, kan 😁

Pada buku, tidak dicantumkan rating pembaca. Namun, ada adegan yang lumayan tidak layak dibaca oleh anak di bawah umur. Mungkin 13+ masih aman.

Ada plot twist yang sesungguhnya sudah bisa ditebak di tengah-tengah cerita. Duh, aku tergoda untuk kasih spoiler 👻.


Selama membaca buku ini, aku membayangkan sandiwara radio Saur Sepuh. Ampuuun … ini beneran udah sepuh, sih 😂

Adegan berkelahinya terasa sekali. Aku bukan penggemar drama kolosal, tapi buku ini sanggup membuatku terhibur.


Aku membutuhkan cukup banyak waktu untuk menyelesaikan buku ini. Ternyata, latar sejarah masih terasa berat untuk aku hadapi. Apalagi membaca nama-nama pejabat VOC dan dialog yang menggunakan 'Ijk' dan 'Jij'.

Kalau bagian ini, aku jadi kebayang Lenong Rumpi 😅.


Setelah menyelasaikan buku ini, aku belum tergerak untuk membaca Bajak Laut dan Mahapatih. Ada beberapa buku yang memanggil untuk dibaca duluan. Hallah 😅



Merah Itu Aku

Jogja, 17 Mei 2024




0 comments:

Post a Comment