Monday, August 23, 2021

Berkebun

Pagi tadi, akhirnya aku tergerak juga buat mengurus kekacauan yang terjadi di taman seuprit depan rumah. Selama ini, memang yang serius mengurusnya adalah Bapak. Jadi, sudah bisa dipastikan, bagaimana tidak terawatnya bagian terbuka hijau rumah kami.

From Canva


Kami cukup beruntung tinggal di sini karena ada orang-orang baik yang bersedia membersihkan rerumputan dan daun-daun yang jatuh. Meskipun tidak menebang atau menghilangkan tanaman-tanaman utama, setidaknya halaman kami terbebas dari semak belukar.

Acara tadi merupakan berkebun paling sentimental yang pernah aku lakukan. Terlalu banyak sentuhan Bapak di sana. Beliau lah yang paling banyak berkontribusi dalam bersih dan terawatnya taman kami.

Aku bukan seseorang yang bisa merawat tanaman. Pengalaman membuktikan, hampir semua tanaman yang berada dalam pengawasanku akan berakhir menyedihkan. Bukti terakhir pun berkata demikian.

Pertama kali, aku punya pengalaman dengan satu pot kecil kaktus saat masih kuliah di Surabaya. Aku membelinya saat berjalan-jalan ke Gunung Bromo. Di sana, banyak sekali penjual kaktus, dan akhirnya aku tergoda untuk meminang salah satu. Konon katanya, merawat kaktus cukup mudah. Aku mulai curiga, ketika para menjual tanaman mengatakan bahwa merawatnya akan mudah, itu hanyalah sebuah trik marketing saja. Buktinya, semua tanaman itu dapat dengan mudah mati, jika berada bersamaku.

Awalnya, kaktus itu baik-baik saja. Aku menyiramnya sesuai dengan petunjuk dari penjual kaktus. Semua menjadi tidak baik-baik saja ketika aku harus pulang selama beberapa hari dan menitipkan kaktus pada teman kos. Beberapa hari setelah aku kembali, kaktusku busuk. Padahal, menurut teman yang aku titipi, dia sudah menyiram sesuai dengan pesan yang aku tinggalkan. Itu adalah kali pertama, aku membuat tanaman mati.

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan tanaman. Selain karena belum punya tempat tinggal sendiri, jujur saja, ketertarikanku terhadap tanama, tidak besar-besar amat. 

Jauh sebelum menikah, Mr. Right pernah menyampaikan tentang keinginannya untuk menghijaukan rumah kami suatu saat nanti. Dengan tidak berperasaan, aku berkata bahwa aku tidak suka tanaman dan lebih memilih membiarkan halaman kami gersang daripada merawat berpot-pot tanaman. Toh, kami akan punya tetangga yang, semoga saja menyukai tanaman. Haha ...

Awal kami mengontrak, tentu saja tidak memungkinkanku untuk menghijaukannya. Kemudian kami pindah ke apartemen yang cukup minim lahan, dan sekali lagi, aku terbebas dari tuntutan memiliki tanaman. Ketika pindah ke Jogja, kami memiliki sedikit lahan terbuka yang sangat cukup untuk diolah sebagai taman kecil. Namun, keenggananku bercocok tanam, membuat sudut terbuka hijau itu, tidak berpenghunk dengan layak.

Bisa dibilang, taman di rumah kami merupakan tempat kreativitas Bapak dan juga rasa syukur beliau. Ketika kami pindah ke Jogja, beliau amat bersyukur karena akhirnya, kami punya tanah. Tentu saja hal tersebut sangat menyelamatkanku dari keharusan merawatnya selama ini. Kami sama-sama senang dengan alasan masing-masing. Aku jelas senang karena tamanku cukup terawat, dan Bapak juga senang karena selalu ada hal yang dilakukan ketika ke Jogja.

Setelah kepergian Bapak, aku belum mempunyai rencana untuk memperbaiki kekacauan yang terjadi untuk kesekian kalinya. Yang aku lakukan, hanyalah menebang beberapa batang pohon yang mengganggu dan beberapa yang mati. Semua tanaman yang aku beli sebelum kepergian Bapak, semuanya mati dan hanya meninggalkan tanah kering di dalam pot. Hanya beberapa tanaman yang ditinggalkan Bapak, yang masih hidup, meskipun tampak tidak terawat.

Setelah Bapak pergi, aku belum berkeinginan meneruskan perawatan taman di kemudian hari. Selain karena tahu diri atas kemampuanku, akan terlalu menyedihkan ketika aku berada di sana. Banyak kenangan yang tertinggal. Bahkan, aku masih bisa membayangkan Bapak sedang ada di sana sedang merawat tamanku. Ah, aku sangat merindukan Bapak.


Merah Itu Aku

Jogja, 22 Agustus 2021



Continue reading Berkebun

Thursday, August 19, 2021

(Dampak) Positif atau Negatif

Hai ... hai ... apa kabar Ibuk-Ibuk yang masih mendampingi anak-anaknya BDR (Belajar dari Rumah)? Semoga masih sehat lahir batin, ya ...

Ada yang udah garuk-garuk tembok?

Atau malah udah sampai tahap ngemilin rontokan tembok hasil digaruk?

Yang sabar, ya, Buk .... Sinih merapat dan saling puk-puk ....

Sebenernya enggak setragis itu sih kondisinya. Apalagi BDR sudah berlangsung lebih dari setahun. Udah biasa kita lah ... biasa memendam kekesalan.

Yah, apalagi sih yang bisa kita lakukan selain menerima dan ikhlas? Hibur-hibur dirilah dengan melihat kelucuan-kelucuan yang ada setiap hari. Hidup memang selucu itu kok 😆.

Ohiya, setelah beberapa waktu lalu aku sempat enggak bisa pulang ke Jogja karena penyekatan di mana-mana, akhirnya aku dan anak-anak berhasil juga. Alhamdulillah perpanjangan PPKM yang berkali-kali dilakukan, berbanding lurus dengan mengendornya penjagaan. Kami sudah berada di rumah selama tiga minggu.

Begitu sampai rumah, tentu hal yang paling ingin dilakukan adalah beres-beres. Kebayang dong gimana rupa rumah yang ditinggal selama lebih dari sebulan? Meskipun ada penyelamat kekacauan, sebut saja Bu Agus, tetapi ada lah hal-hal yang harus aku bereskan sendiri.

Acara beres-beres pun tidak berjalan mulus. Kegiatan sekolah anak-anak -- yang meskipun dilakukan dari rumah aja -- ternyata sungguh membuatku begitu senewen. Jadwal yang begitu padat, membuat hariku sejak bangun tidur hingga mau tidur lagi adalah berkutat dengan segala urusan persekolahan.

Usut punya usut, jadwal yang disiapkan sekolah, sejatinya merupakan jadwal yang semula diperuntukkan bagi pembelajaran tatap muka. Walaupun sudah ada penyesuaian, tetap saja masih terasa berat.

Alhamdulillah, mulai minggu ini, jadwalnya lebih manusiawi. Meski tetep aja ya, mulut hamba tak henti-hentinya mengomel agar ananda tercinta menyelesaikan semua tugasnya.

Mungkin terasa miris, ya ... dan mungkin merasa sedikit insekyur kala melihat anak-anak orang lain yang sudah bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, di usia yang sama. Eits ... buru-buru insyaf dan kembali ke jalan yang benar. Semua anak itu istimewa. Jangan dibandingkan dengan pencapaian anak orang lain.

Tapi susaaaahhhh ... iya ... iya ... aku ngerti kok ... sinih merapat dan saling pukpuk lagi 😌.

Beberapa kali, aku bahkan diingatkan langsung oleh Kakak. Jadi, ada suatu pelajaran, sebut saja tahfidz, yaitu belajar menghafal Al Quran. Sistem pembelajarannya, selain pertemuan online melalui google meet, para siswa diminta menyetorkan hafalan berupa voice note yang dikirimkan pada grup whatsapp. Satu halaqoh (kelompok tahfidz) berisi sekitar sepuluh anak.

Nah, karena ada di grup, maka kami bisa saling mendengar setoran temen-temen sekelompoknya. Setiap selesai rekaman hafalan, kami berdua mendengarkan beberapa voice note yang dikirim teman sekelompoknya. Kami pilih secara acak. Lebih sering, Kakak yang pilih, pengen denger punya siapa.

Beberapa hari belakangan, Kakak tidak terlalu bersemangat mendengar voice note yang dikirim teman-temannya. Pada suatu malam, aku sendiri yang memilih dan mendengarkan hafalan temannya. Tiba-tiba Kakak beranjak berdiri dan menyeletuk, "Udah deh ... mulai dibanding-bandingin ...."

Waktu denger kalimat itu, hati ini rasanya kayak ketusuk. Sakit yang nggak berdarah. Jadi, itu ya alasan dia kenapa nggak mau dengerin hafalan temen-temennya? Ah, sehina itu, ya, caraku menyakitinya?

Sadar nggak sadar, menjadi guru pendamping di rumah selama masa pandemi memang begitu banyak tantangannya. Mungkin sering kali kita berpikir bahwa kitalah yang merasa jadi orang paling tertindas. Namun, ada hati-hati kecil yang kerap kali lupa kita jaga. Kondisi ini bukan pilihan mereka juga kok. Marilah kita saling menahan diri untuk tidak menyakiti perasaan mereka. Iya, kita memang stres. Namun, melampiaskan kepada anak dengan kata-kata tajam juga bukan pilihan bijak.

*ini lebih ke selftalk sih ya... karena aku pun masih sering lupa menjaga perasaan mereka 🥺.

Selain kesedihan-kesedihan itu, ada juga hal-hal yang patut disyukuri. Bersama anak-anak dalam pengawasan kita, pasti lebih menenangkan. Kita bisa mengetahui pencapaian-pencapaian mereka secara langsung dan nyata adanya. Kadang, ada juga pikiran-pikiran polos nan jujur keluar dari mulutnya.

Pada suatu hari, aku mendampingi Kakak tertua menyelasaikan persoalan hidup. Ada sebuah pertanyaan mengenai dampak negatif dari letak geografis Indonesia.

🧕 Coba, dampak negatif itu, yang baik atau yang nggak baik?

👦 Baik dong. (Jawabnya mantep pisan)

🧕 Dampak negatif? (Aku mengulang pertanyaan dengen sedikit penekanan)

👦 Baik. (Mulai ragu-ragu)

🧕 Kalau kelakuannya negatif, minus. Nilai minus dibanding plus. Bagusan mana?

👦 Yang jelek? (Nampak tidak rela)

🧕 Negatif itu dampak yang nggak baik.

👦 Tapi kalau positif Covid kan ga bagus?

Meskipun aku sudah menyangka kalau dia akan mengarah ke sana, aku tetep aja gemes lho 😆.

Dalam istilah kesehatan, setauku, berita baik jika nilainya positif adalah merujuk pada kehamilan (kecuali kehamilan tidak diinginkan, tentu saja).

Ah, marilah bersyukur dan ikhlas menjalani hari-hari ini.

Semoga Indonesia lekas sehat dan anak-anak mendapatkan haknya untuk kembali bersosialisasi.


PS: Garuk-garuk tembok disadur dari curhatan bersama teman SMA beberapa hari yang lalu😆.


Merah Itu Aku

Jogja, 19 Agustus 2021


Continue reading (Dampak) Positif atau Negatif