Pagi tadi, akhirnya aku tergerak juga buat mengurus kekacauan yang terjadi di taman seuprit depan rumah. Selama ini, memang yang serius mengurusnya adalah Bapak. Jadi, sudah bisa dipastikan, bagaimana tidak terawatnya bagian terbuka hijau rumah kami.
From Canva |
Kami cukup beruntung tinggal di sini karena ada orang-orang baik yang bersedia membersihkan rerumputan dan daun-daun yang jatuh. Meskipun tidak menebang atau menghilangkan tanaman-tanaman utama, setidaknya halaman kami terbebas dari semak belukar.
Acara tadi merupakan berkebun paling sentimental yang pernah aku lakukan. Terlalu banyak sentuhan Bapak di sana. Beliau lah yang paling banyak berkontribusi dalam bersih dan terawatnya taman kami.
Aku bukan seseorang yang bisa merawat tanaman. Pengalaman membuktikan, hampir semua tanaman yang berada dalam pengawasanku akan berakhir menyedihkan. Bukti terakhir pun berkata demikian.
Pertama kali, aku punya pengalaman dengan satu pot kecil kaktus saat masih kuliah di Surabaya. Aku membelinya saat berjalan-jalan ke Gunung Bromo. Di sana, banyak sekali penjual kaktus, dan akhirnya aku tergoda untuk meminang salah satu. Konon katanya, merawat kaktus cukup mudah. Aku mulai curiga, ketika para menjual tanaman mengatakan bahwa merawatnya akan mudah, itu hanyalah sebuah trik marketing saja. Buktinya, semua tanaman itu dapat dengan mudah mati, jika berada bersamaku.
Awalnya, kaktus itu baik-baik saja. Aku menyiramnya sesuai dengan petunjuk dari penjual kaktus. Semua menjadi tidak baik-baik saja ketika aku harus pulang selama beberapa hari dan menitipkan kaktus pada teman kos. Beberapa hari setelah aku kembali, kaktusku busuk. Padahal, menurut teman yang aku titipi, dia sudah menyiram sesuai dengan pesan yang aku tinggalkan. Itu adalah kali pertama, aku membuat tanaman mati.
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan tanaman. Selain karena belum punya tempat tinggal sendiri, jujur saja, ketertarikanku terhadap tanama, tidak besar-besar amat.
Jauh sebelum menikah, Mr. Right pernah menyampaikan tentang keinginannya untuk menghijaukan rumah kami suatu saat nanti. Dengan tidak berperasaan, aku berkata bahwa aku tidak suka tanaman dan lebih memilih membiarkan halaman kami gersang daripada merawat berpot-pot tanaman. Toh, kami akan punya tetangga yang, semoga saja menyukai tanaman. Haha ...
Awal kami mengontrak, tentu saja tidak memungkinkanku untuk menghijaukannya. Kemudian kami pindah ke apartemen yang cukup minim lahan, dan sekali lagi, aku terbebas dari tuntutan memiliki tanaman. Ketika pindah ke Jogja, kami memiliki sedikit lahan terbuka yang sangat cukup untuk diolah sebagai taman kecil. Namun, keenggananku bercocok tanam, membuat sudut terbuka hijau itu, tidak berpenghunk dengan layak.
Bisa dibilang, taman di rumah kami merupakan tempat kreativitas Bapak dan juga rasa syukur beliau. Ketika kami pindah ke Jogja, beliau amat bersyukur karena akhirnya, kami punya tanah. Tentu saja hal tersebut sangat menyelamatkanku dari keharusan merawatnya selama ini. Kami sama-sama senang dengan alasan masing-masing. Aku jelas senang karena tamanku cukup terawat, dan Bapak juga senang karena selalu ada hal yang dilakukan ketika ke Jogja.
Setelah kepergian Bapak, aku belum mempunyai rencana untuk memperbaiki kekacauan yang terjadi untuk kesekian kalinya. Yang aku lakukan, hanyalah menebang beberapa batang pohon yang mengganggu dan beberapa yang mati. Semua tanaman yang aku beli sebelum kepergian Bapak, semuanya mati dan hanya meninggalkan tanah kering di dalam pot. Hanya beberapa tanaman yang ditinggalkan Bapak, yang masih hidup, meskipun tampak tidak terawat.
Setelah Bapak pergi, aku belum berkeinginan meneruskan perawatan taman di kemudian hari. Selain karena tahu diri atas kemampuanku, akan terlalu menyedihkan ketika aku berada di sana. Banyak kenangan yang tertinggal. Bahkan, aku masih bisa membayangkan Bapak sedang ada di sana sedang merawat tamanku. Ah, aku sangat merindukan Bapak.
Merah Itu Aku
Jogja, 22 Agustus 2021