"Anya!" Terdengar sebuah panggilan diikuti suara langkah mendekat. Tanpa perlu mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya, gadis itu sudah mengetahui siapa yang memanggil.
"Apa?" tanya Anyelir begitu Bara berdiri di sampingnya.
"Kamu serius, mau ikutan naik gunung?"
"Iya. Aku udah bilang Mas Cikal dan dibolehin ikut."
"Ini ke Slamet, lho, Nya." Bara duduk di samping Anyelir yang tampak kesal. Dia sudah memperkirakan bahwa gadis keras kepala itu sanggup melakukan apa saja untuk bisa mencapai keinginannya. Naik gunung.
"Emangnya kenapa? Kamu pikir, aku nggak mampu?!" tanya Anyelir dengan nada tinggi.
"Bukan gitu," kata Bara sambil memikirkan kalimat yang tepat agar tidak menyinggung gadis yang duduk di sampingnya.
"Mas Cikal udah bolehin," ulang Anyelir menantang Bara.
"Dia suka sama kamu dan akan mengiyakan semua permintaan kamu."
"Kamu nggak suka aku? Karena itu nggak pernah bolehin aku ikut naik gunung sama kamu?"
"Nggak gitu, Nya …," kata Bara menimbang-nimbang kalimat berikutnya. "Okay, kamu boleh ikut …."
"Tapi?" tanya Anyelir ketika Bara tidak juga melanjutkan kalimatnya.
"Jangan Slamet," kata Bara dengan nada penuh permohonan. Gadis keras kepala ini sudah berulang kali membuatnya kalang kabut dengan tindakan di luar nalar. "Kita coba yang gampang-gampang dulu aja."
"Setuju!" seru Anyelir cepat, sebelum Bara berubah pikiran.
***
Bara agak menyesal dengan keputusan memperbolehkan Anyelir naik gunung. Akan tetapi, dia tidak mau ambil risiko dengan membiarkan gadis itu pergi bersama orang lain.
Bukan tanpa alasan, Bara melarang Anyelir ikut naik gunung bersamanya. Gadis itu memiliki penyakit asma, tetapi sangat keras kepala meskipun sudah diberi pengertian.
"Aku mau nyoba sesuatu yang kamu suka. Kalau memang aku bener-bener terbukti enggak mampu, aku enggak akan minta lagi," janji Anyelir pada suatu hari.
Bara masih belum mengizinkan hingga akhirnya Anyelir meminta sendiri pada Cikal, ketua Mapala, yang disinyalir menyukai gadis manis itu.
Sebelum pendakian, Bara meminta izin pada kedua orang tua Anyelir. Pada awalnya, sang ayah cukup sulit diyakinkan. Dengan berbagai bujuk rayu serta janji-janji yang dilontarkan, mereka diizinkan juga untuk mendaki gunung.
Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Orang tua Anyelir pun sangat mengenal Bara yang seperti pelindung bagi putrinya.
Seminggu sebelum keberangkatan, Bara melatih Anyelir dengan beberapa latihan fisik. Sedikit berharap gadis itu akan menyerah dengan serangkaian latihan yang diberikan. Nyatanya, dia mampu melewati semua dengan mulus.
Tidak hanya latihan fisik, mereka juga menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan serangan asma saat pendakian. Udara dingin dan kelelahan dapat memicunya.
Bara memilih Gunung Prau sebagai tujuan pendakian pertama bagi Anyelir. Medannya cukup ramah bagi pemula.
Gunung Prau terletak di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Ketinggiannya 2.565 mdpl (meter di atas permukaan laut).
Ada beberapa basecamp pendakian dan Bara memilih jalur Patakbanteng. Jalur ini merupakan favorit yang paling banyak dipilih karena rutenya paling singkat dan tidak terlalu sulit.
"Bilang kalo kamu nggak kuat," kata Bara untuk kesekian kalinya.
"Iya, Bawel," sahut Anyelir yang tidak berhenti tersenyum sejak perjalanan menuju Wonosobo.
Bara mengecek semua barang bawaan Anyelir. Memastikan semua obat-obatan tidak tertinggal. Tidak banyak perbekalan yang dibawa. Mereka hanya akan mendaki sekitar empat jam jika perjalanan lancar.
Mereka mulai mendaki menuju Pos 1 Sikut Dewo. Bara memastikan kondisi Anyelir secara berkala.
"Aman," kata Anyelir setiap Bara menanyakan kondisinya.
"Pos 1 udah keliatan. Kalo kamu mau udahan, nanti kita turun," kata Bara serius ketika melihat butiran keringat mulai membasahi wajah Anyelir.
"Nggak usah lebay!" seru Anyelir galak.
Bara memberi kesempatan Anyelir beristirahat cukup lama. Tidak penting berapa waktu yang dibutuhkan untuk sampai di puncak. Keselamatan sahabatnya jauh lebih penting.
Perjalanan menuju Pos 2, kondisi Anyelir cukup payah. Selain kelelahan, udara saat itu memang sangat dingin. Beberapa kali, gadis itu mulai batuk-batuk.
"Kita stop sampai sini aja," kata Bara begitu sampai di Pos 2.
Anyelir menghirup inhaler untuk meredakan sesak yang mulai terasa.
"Kita turun setelah kamu cukup istirahat," kata Bara lagi setelah napas Anyelir mulai teratur.
"Sialan, kamu benar. Aku memang nggak kuat," kata Anyelir cukup kesal dengan ketidakmampuannya.
"Hey, kamu bisa melakukan banyak hal. Tapi memang naik gunung nggak cocok buat kamu."
"Sorry, karena udah begitu menyebalkan akhir-akhir ini."
"Kamu memang menyebalkan, Anya!" kata Bara sambil menghindari pukulan sahabatnya.
***
Merah Itu Aku
Jogja, 24 Juni 2022
(Cerpen-Rumah Belajar Literasi IP Yogyakarta)