Dalam percakapan sehari-hari, biasanya kita lebih banyak menggunakan bahasa daerah. Apalagi jika kedua orang yang sedang berkomunikasi tersebut berasal dari daerah yang sama. Kalau pun berbahasa Indonesia, maka akan ada beberapa bahasa daerah yang turut dimasukkan ke dalam percakapan.
Beberapa hari yang lalu, aku tergelitik dengan pembahasan di Kelas Literasi Ibu Profesional tentang acara literasi yang diadakan di sebuah kota. Meskipun aku tidak ikut menanggapi pembahasan tersebut, tetapi cukup membuat kepikiran.
Duh, maafkan aku yang masih sering ketinggalan pembahasan di grup dan bingung mau menanggapi dari sebelah mana.
Wah, kalau di sebuah kota di Jawa Barat memasukkan bahasa Sunda dalam percakapannya, apakah di kota lain dengan bahasa daerah tertentu, juga akan memasukkan bahasa daerahnya? Ini dalam konteks acara besar, ya, bukan sekadar kumpul arisan.
Jawabannya, tentu saja iya. Pasti kita sering menemui acara, di mana pembicaranya memasukkan bahasa daerah dalam pidatonya. Bahkan mungkin, kita sendiri yang menggunakannya.
Mungkin, dengan menyisipkan kata dalam bahasa daerah, akan lebih akrab dan dapat diterima oleh pemirsa.
Tak lama berselang, aku pun menghadapi sebuah acara yang cukup besar, di mana aku menjadi salah satu narasumbernya. Hal tersebut tentu saja membuatku banyak berbicara. Entah saat memaparkan materi, atau pun menjawab pertanyaan dari peserta.
Berbahasa Indonesia secara lisan memang cukup menantang. Menurutku, dalam tulisan, penggunaan bahasa baku lebih bisa diterima pembaca. Berbeda dengan bahasa lisan. Selain terdengar aneh, ada kalanya bahasa yang baik dan benar, justru tidak dimengerti oleh pendengar. Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah dapat menjadi solusi agar komunikasi mudah dipahami.
Kesulitan berbahasa Indonesia dalam bentuk lisan, bukan hanya dialami oleh pendengar. Namun, bagi pembicara pun, hal tersebut cukup menantang. Seperti yang terjadi padaku saat menjelaskan langkah-langkah dalam membuat ikatan makram di sebuah acara. Aku sempat bingung menggunakan kata 'menekuk' pada kalimat '... menekuk tali sama panjang.' Apakah kata menekuk dapat diganti dengan 'melipat'?
Padahal, setelah aku cek di KBBI, kata menekuk merupakan kata baku dan memang digunakan untuk tali. Kenapa saat itu aku merasa ragu? Ya, karena orang-orang tampak aneh saat mendengarku mengucapkannya. Jika menulis, kita dapat mengecek KBBI saat ragu. Namun, dalam bahasa lisan, hanya mengandalkan ingatan dan rasa percaya diri saja. Haha ...
Kadang, kekayaan bahasa daerah tidak dapat digantikan dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, bahasa tersebut belum masuk dalam KBBI sebagai bahasa serapan. Sedangkan bahasa tersebut jauh lebih populer dibanding bahasa baku. Duh, pelik banget, ya ... sepelik tata bahasa yang aku gunakan dalam menjelaskannya. Atau sepelik perasaan wanita? 😌
Menilik kejadian yang kerap kali terjadi, penting bagi kita, para penulis yang lebih dahulu memahami tata bahasa, agar memopulerkan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Apa yang bisa kita lakukan?
1. Gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika menulis pesan. Kalau bisa, gunakan huruf miring pada kata asing atau serapan bahasa daerah. Termasuk juga cara penulisan sesuai PEUBI.
2. Hindari menyingkat kata dalam menulis pesan. Biasakan menulis dengan kata yang utuh.
3. Baca ulang pesan sebelum dikirim untuk menghindari salah ketik.
4. Sebisa mungkin, gunakan bahasa lisan yang baku saat berbicara dengan teman atau anak. Mungkin pada awalnya terdengar aneh. Akan tetapi, sesuatu yang baik memang perlu dibiasakan agar terbiasa, bukan?
5. Bergaul akrab dengan KBBI dan PEUBI agar kita terbiasa.
Semoga dengan beberapa tips di atas, kita dapat lebih menyebarluaskan penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan sekitar.
Bahasa tulisan dan lisanku pun masih belum sempurna, tetapi aku berusaha untuk terus belajar.
Jika bukan kita, siapa lagi. Jika tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi?
Merah Itu Aku
Jogja, 31 Oktober 2021