Wednesday, March 3, 2021

Teman Bicara dan Bercerita

Hubunganku dengan Bapak belasan tahun yang lalu, mungkin memang tidak dekat. Bapak yang tidak banyak bicara, menyulitkan komunikasi kami saat itu. Namun, ketika  aku sudah menikah, Bapak merupakan teman bercerita yang menyenangkan.

Bukan karena Bapak pandai menenangkan atau mengeliarkan kalimat-kalimat panjang nan lebar. Beliau tetap tidak banyak bicara, tetapi justru membuatku senang bercerita dengannya. Lama kelamaan, hubunganku dengan Bapak mulai menghangat.

Sebenarnya, kenangan bersama Bapak tidak berupa obrolan-obrolan panjang. Hanya kejadian-kejadian yang muncul bagai potongan adegan yang disiarkan ulang.

Waktu SMP, aku suka menemani Bapak nonton pertandingan bola di televisi. Yang membuatku senang, karena Bapak hampir selalu memasak mie instan rebus untuk menemani kami menonton. Beliau selalu memasukkan berbagai macam sayuran seperti caisim dan kobis. Selera kami memang tidak berbeda jauh. All you can eat. Satu panci kecil, kami makan bersama. Bapak selalu memintaku untuk menghabiskannya dan tentu saja, aku mendapat bagian lebih banyak.

Tak banyak kata, tapi aku merasakan cinta.


Saat kuliah dan jauh dari rumah, aku masih jarang ngobrol. Berkali-kali Ibu cerita jika Bapak sering menanyakan kabarku tetapi tidak pernah mau menelepon. Bapak yang mudah tersentuh, melindungi hatinya sendiri agar tidak terlalu bersedih ketika menghubungiku langsung. 

Beberapa hari yang lalu, aku dan Ibu mengenang Bapak dengan berbagi cerita. Tentang Bapak yang berusaha mengganti waktu kebersamaan yang hilang ketika beliau masih bekerja. Ya, saat aku kuliah, Bapak dan Ibu hanya pernah mengunjungiku 2 atau 3 kali dalam 5 tahun aku kuliah. Beruntung, aku bukan orang yang menuntut perhatian. Jadi, aku tak pernah mempermasalahkan ketika Bapak jarang menelepon dan mengunjungiku.

Setelah Bapak pensiun, beliau sering mengunjungi kami di Jakarta. Saat aku sudah pindah ke Jogja, Bapak semakin sering mengunjungi kami. Sebelum pandemi, Bapak dan Ibu lebih sering ke Jogja naik bus, meskipun jika ada acara khusus, Bapak memilih menyetir sendiri.

Setelah pandemi, Bapak menyetir sendiri tanpa berhenti di tengah perjalanan. Demi kehati-hatian dalam situasi seperti ini.

Pada usianya yang sudah di atas 65 tahun, tubuh Bapak terbilang kuat. Awal Januari lalu, Bapak masih menyetir sendiri ke Jogja, bahkan berencana lanjut ke Semarang, tetapi tidak jadi. Itu adalah terakhir kali, Bapak mengunjungi kami di Jogja.

Kata Ibu, mungkin Bapak ingin mengganti waktu yang telah lalu. Saat ini, tentu saja aku tak bisa mengonfirmasi langsung 😥. 

Ibu bercerita bahwa Bapak sangat patuh pada aturan perusahaan. Jika harus sering mengunjungiku, tentu saja Bapak harus sering pula ambil cuti. Itu alasan kenapa Bapak sangat jarang berkunjung ketika aku kuliah di Surabaya. Sungguh, aku tak pernah mempermasalahkan itu. Bagiku, sudah cukup ketika beliau hadir saat aku wisuda dan pengambilan sumpah profesi. Saat penting dalam perjalanan hidupku. Bapak, terima kasih 💕.

Ketika aku kuliah, tak terbersit sedikit pun keinginan untuk dikunjungi. Selain jarak yang terlalu jauh untuk mereka mengunjungiku, aku lebih memilih pulang ketika ingin bertemu.

Ah, Bapak ... aku tahu betapa besar rasa sayangmu kepada kami, meskipun itu tak pernah terucap dari bibirmu. Dari semua sikap yang engkau tunjukkan, sudah lebih dari cukup untuk membuktikannya.

Terima kasih sudah mendengarkan segala ceritaku, tanpa banyak menginterupsi.

Bapak, aku rindu ...



Merah Itu Aku

Cilacap, 3 Maret 2021

0 comments:

Post a Comment