Beberapa hari ini, aku bertugas menjadi pengawas ujian anak-anak di rumah. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Meskipun bukan pertama kalinya anak-anak ujian take home selama kurun waktu delapan bulan belajar dari rumah, aku tetep senewen dibuatnya.
Ya, delapan bulan lebih mereka 'dirumahkan'. Entah sampai kapan, belum ada kepastian. Tadinya sempat berharap bahwa awal 2021 bisa kembali sekolah tatap muka. Namun, peningkatan jumlah kasus akhir-akhir ini, sedikit banyak membuatku ragu.
Hari ini, anak-anak baru memasuki hari ketiga Penilaian Akhir Semester (PAS). Tapi drama yang terjadi sudah menguras emosi jiwa dan ragaku 😆. Terutama drama si sulung.
Berdasarkan hasil diskusi dengan Mr. Right, Kakak Pertama memang sedang dalam masa-masa 'ngeyel' yang kebangetan. Prediksi Mr. Right, hal ini akan terjadi sampe dia SMA. Bhaique... dan aku masih harus menghadapi dua anak laki-laki lagi setelahnya 🤣.
Beberapa hari menjelang PAS, aku sudah menyiapkan diri untuk menghadapi keajaiban anak-anak. Aku fokuskan pada kakak pertama karena untuk kakak kedua, aku sudah bisa sedikit melepasnya.
Aku ajak kakak pertama ngobrol dan mendiskusikan beberapa kesepakatan. Kami juga membahas masalah hak dan kewajiban. Aku berusaha menekan ego dan emosiku ketika berhadapan dengannya. Thanks to komunikasi produktif.
Ada beberapa hal yang aku terapkan dalam membuat kesepakatan bersama kakak:
1. Menjadi pendengar yang baik
Ketika kakak mengungkapkan kegelisahan dan perasaannya, aku menahan diri untuk melontarkan komentar. Aku biarkan kakak berbicara hingga selesai. Berusaha menjadi pendengar yang baik, meskipun aku sangat ingin mengeluarkan kalimat sanggahan 😄.
2. Gunakan intonasi suara yang lembut.
Jangan terpancing emosi meskipun keinginan untuk menggunakan nada tinggi begitu menggodaku. Hihi... coba saja kamu berhadapan dengannya. Pasti kamu akan tahu bagaimana perasaanku.
Tapi, demi kebaikan semua, aku harus menahan diri. Ternyata memang efektif lho... ketika aku tidak terpancing untuk marah, kakak tidak terlalu ngotot untuk menyampaikan pikirannya.
Kalo kata kakak, selow 😌😌.
3. Posisikan wajah, sejajar dengan lawan bicara.
Ini juga efektif. Ketika berada pada posisi sama tinggi, aku lebih bisa berempati pada emosi yang dirasakan oleh kakak. Hal ini juga bisa membantuku untuk lebih menahan gejolak emosi.
Selain itu, posisi sejajar memudahkanku untuk melakukan kontak mata dengan kakak.
4. Ambil jeda.
Jangan over'reaktif terhadap setiap kata-kata yang keluar dari mulut kakak. Setelah kakak selesai mengungkapkan perasaannya, tarik napas dulu sebelum berbicara. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kakak sudah selesai mengungkapkan perasaanya. Selain itu, memberi waktu kepadaku untuk mengatur emosi yang ingin meledak setiap saat 😆.
5. Beri sentuhan.
Sesekali, sentuh rambutnya, lengannya, punggungnya... salurkan emosi positif untuk mengurangi gejolak perasaannya. Dengan sentuhan, kita bisa mempersempit jarak tak kasat mata yang terbentuk.
6. Pilih kalimat yang mudah dipahami.
Jangan gunakan kalimat yang panjang dan berbelit. Langsung pada intinya.
Alhamdulillah, beberapa hari ini, aku berhasil mengendalikan emosiku. Aku tidak terlalu meledak-ledak menghadapi drama kakak. Aku masih harus banyak belajar mengendalikan emosi. Dan praktek dengan kakak memang salah satu tantangan pengendalian emosi yang cukup berat 😄.
Aku jadi teringat pada materi Jumagi (Jumat Berbagi) di Gemari Madya pekan lalu. Materinya sangat menarik, yaitu menghadapi anak yang mulai beranjak remaja. Salah satu kuncinya adalah menjadi teman bagi sang anak. Setelah mendapat materi langsung dari praktisi, aku jadi termotivasi untuk memperbaiki hubungan dengan kakak.
Merah Itu Aku
Jogja, 2 Desember 2020
0 comments:
Post a Comment