Pertama kali kenal kuaci biji bunga matahari, waktu masih SD. Dulu ada gosip kalo makan kuaci biji bunga matahari, kita bakalan pusing-pusing. Sekarang baru berpikir, sepertinya itu trik marketing kuaci yang sudah ada sebelumnya, yaitu kuaci biji semangka😅.
Aku ga mau membahas lebih dalam tentang seberapa kompetitifnya kedua kuaci itu untuk mengambil hati dan lidah para konsumen kuaci. Tapi yang jelas, saat ini aku lebih mudah menemukan kuaci dari biji bunga matahari dibanding kuaci dari biji semangka. Mungkin karena promosi yang lebih gencar dari kuaci biji bunga matahari dibanding kuaci biji semangka. Atau aku aja yang ga tau kalo kuaci biji semangka masih banyak juga dijual di pasaran😄. Maaf karena tulisan ini tidak diawali dengan riset pasar😆.
Beberapa bulan belakangan ini, di rumah hampir selalu ada kuaci biji bunga matahari. Dan supplier ku adalah bapak dan ibu (ibu sih lebih tepatnya😋). Ibu juga yang mempengaruhiku mengkonsumsi kuaci di waktu luang karena ibu pun terpengaruh temen-temennya yang suka makan kuaci juga. Haha...ibu nyari temen yaaaa...😘.
Duh...kebayang kan betapa selow nya hidupku yang masih punya banyak waktu luang untuk makan kuaci. Kenyang kagak...cape iya. Tapi nikmat juga😂
Kemaren malem, saat yang lain udah tidur, aku dan bapak, yang lagi di Jogja, makan kuaci berjamaah. Duduk berdua di ruang makan, berhadap-hadapan, dipisahkan oleh meja makan. Dalam diam, tanpa kata. Hanya suara-suara kulit kuaci terpecah dan rintik hujan yang terdengar. Begitu syahdu. Hingga masing-masing dari kami menghabiskan segenggam kuaci yang kami ambil.
Kami dan kuaci, menutup malam itu dengan damai.
Merah Itu Aku
Jogja, 8 Maret 2019
0 comments:
Post a Comment