Sunday, March 3, 2019

Sepi

Aku suka sepi, jauh dari keramaian. Mungkin karena aku berasal dari keluarga yang sedikit bicara dan lebih banyak bertindak. Ibu yang identik dengan kebawelan pun ga aku lihat dari ibuku. Memang lebih sering berbicara dibanding bapak, tapi tidak cukup banyak untuk bisa dikatakan cerewet. Apalagi bapak yang jarang bicara jika tidak perlu-perlu amat. Bapak lebih banyak bergerak untuk ini itu. Dari pada nyuruh orang, beliau lebih suka mengerjakan sendiri. Dalam diam tentu saja.

Menyukai sepi bukan berarti aku anti sosial. Aku tetap menyukai berkumpul bersama teman-teman maupun menyambut kedatangan saudara-saudara di rumah. Apalagi sebenernya dengan tiga anak saja sudah cukup rame sih rumah kami. Menyepi seperti untuk menemukan kedamaian 😀😀.

Waktu aku resign dan ditawari untuk tetap tinggal di Jakarta, Jogja, atau Cilacap, tanpa ragu-ragu aku pilih Jogja. Jauh dari keramaian ibu kota, dan jauh dari kebisingan suara-suara yang tidak perlu.

Meskipun suka sepi, aku bukan seperti ibuku yang tak pernah bersuara menggelegar di rumah. Mungkin karena ibu seorang guru yang kebutuhan pengeluaran ribuan kata per hari sudah terpenuhi di sekolah. Sedangkan aku, memenuhi kebutuhan ribuan kata dengan lumayan bawel ke anak-anak, dan menulis. Intonasi suara pun kerap kali meninggi untuk mengimbangi kegaduhan di rumah.

Saat malam tiba dan sudah sepi, kerap kali penyesalan datang kenapa aku masih saja belum bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Menyesal dalam sepi. Dan aku masih menyukai sepi.

Merah Itu Aku
Jogja, 3 Maret 2019


0 comments:

Post a Comment